Sabtu, 21 Juni 2008

Gairah Bapak Kost

Pagi itu kulihat Oom Pram sedang merapikan tanaman di kebun, dipangkasnya daun-daun yang mencuat tidak beraturan dengan gunting. Kutatap wajahnya dari balik kaca gelap jendela kamarku. Belum terlalu tua, umurnya kutaksir belum mencapai usia 50 tahun, tubuhnya masih kekar wajahnya segar dan cukup tampan. Rambut dan kumisnya beberapa sudah terselip uban. Hari itu memang aku masih tergeletak di kamar kostku. Sejak kemarin aku tidak kuliah karena terserang flu. Jendela kamarku yang berkaca gelap dan menghadap ke taman samping rumah membuatku merasa asri melihat hijau taman, apalagi di sana ada seorang laki-lai setengah baya yang sering kukagumi. Memang usiaku saat itu baru menginjak dua puluh satu tahun dan aku masih duduk di semester enam di fakultasku dan sudah punya pacar yang selalu rajin mengunjungiku di malam minggu. Toh tidak ada halangan apapun kalau aku menyukai laki-laki yang jauh di atas umurku.

Tiba-tiba ia memandang ke arahku, jantungku berdegup keras. Tidak, dia tidak melihaku dari luar sana. Oom Pram mengenakan kaos singlet dan celana pendek, dari pangkal lengannya terlihat seburat ototnya yang masih kecang. Hari memang masih pagi sekitar jam 9:00, teman sekamar kostku telah berangkat sejak jam 6:00 tadi pagi demikian pula penghuni rumah lainnya, temasuk Tante Pram istrinya yang karyawati perusahaan perbankan.

Memang Oom Pram sejak 5 bulan terakhir terkena PHK dengan pesangon yang konon cukup besar, karena penciutan perusahaannya. Sehingga kegiatannya lebih banyak di rumah. Bahkan tak jarang dia yang menyiapkan sarapan pagi untuk kami semua anak kost-nya. Yaitu roti dan selai disertai susu panas. Kedua anaknya sudah kuliah di luar kota. Kami anak kost yang terdiri dari 6 orang mahasiswi sangat akrab dengan induk semang. Mereka memperlakukan kami seperti anaknya. Walaupun biaya indekost-nya tidak terbilang murah, tetapi kami menyukainya karena kami seperti di rumah sendiri. Oom Pram telah selesai mengurus tamannya, ia segera hilang dari pemandanganku, ah seandainya dia ke kamarku dan mau memijitku, aku pasti akan senang, aku lebih membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari obat-obatan. Biasanya ibuku yang yang mengurusku dari dibuatkan bubur sampai memijit-mijit badanku. Ah.. andaikan Oom Pram yang melakukannya...

Kupejamkan mataku, kunikmati lamunanku sampai kudengar suara siulan dan suara air dari kamar mandi. Pasti Oom Pram sedang mandi, kubayangkan tubuhnya tanpa baju di kamar mandi, lamunanku berkembang menjadi makin hangat, hatiku hangat, kupejamkan mataku ketika aku diciumnya dalam lamunan, oh indahnya. Lamunanku terhenti ketika tiba-tiba ada suara ketukan di pintu kamarku, segera kutarik selimut yang sudah terserak di sampingku. "Masuk..!" kataku. Tak berapa lama kulihat Oom Pram sudah berada di ambang pintu masih mengenakan baju mandi. Senyumnya mengambang "Bagaimana Lina? Ada kemajuan..?" dia duduk di pinggir ranjangku, tangannya diulurkan ke arah keningku. Aku hanya mengangguk lemah. Walaupun jantungku berdetak keras, aku mencoba membalas senyumnya. Kemudian tangannya beralih memegang tangan kiriku dan mulai memjit-mijit.

"Lina mau dibikinkan susu panas?" tanyanya.
"Terima kasih Oom, Lina sudah sarapan tadi," balasku.
"Enak dipijit seperti ini?" aku mengangguk.VDia masih memijit dari tangan yang kiri kemudian beralih ke tangan kanan, kemudian ke pundakku. Ketika pijitannya berpindah ke kakiku aku masih diam saja, karena aku menyukai pijitannya yang lembut, disamping menimbulkan rasa nyaman juga menaikkan birahiku. Disingkirkannya selimut yang membungkus kakiku, sehingga betis dan pahaku yang kuning langsat terbuka, bahkan ternyata dasterku yang tipis agak terangkat ke atas mendekati pangkal paha, aku tidak mencoba membetulkannya, aku pura-pura tidak tahu.

"Lin kakimu mulus sekali ya."
"Ah.. Oom bisa aja, kan kulit Tante lebih mulus lagi," balasku sekenanya.
Tangannya masih memijit kakiku dari bawah ke atas berulang-ulang. Lama-lama kurasakan tangannya tidak lagi memijit tetapi mengelus dan mengusap pahaku, aku diam saja, aku menikmatinya, birahiku makin lama makin bangkit.
"Lin, Oom jadi terangsang, gimana nih?" suaranya terdengar kalem tanpa emosi.
"Jangan Oom, nanti Tante marah.."
Mulutku menolak tapi wajah dan tubuhku bekata lain, dan aku yakin Oom Pram sebagai laki-laki sudah matang dapat membaca bahasa tubuhku. Aku menggelinjang ketika jari tangannya mulai menggosok pangkal paha dekat vaginaku yang terbungkus CD. Dan... astaga! ternyata dibalik baju mandinya Oom Pram tidak mengenakan celana dalam sehingga penisnya yang membesar dan tegak, keluar belahan baju mandinya tanpa disadarinya. Nafasku sesak melihat benda yang berdiri keras penuh dengan tonjolan otot di sekelilingnya dan kepala yang licin mengkilat. Ingin rasanya aku memegang dan mengelusnya. Tetapi kutahan hasratku itu, rasa maluku masih mengalahkan nafsuku.

Oom Pram membungkuk menciumku, kurasakan bibirnya yang hangat menyentuh bibirku dengan lembut. Kehangatan menjalar ke lubuk hatiku dan ketika kurasakan lidahnya mencari-cari lidahku dan maka kusambut dengan lidahku pula, aku melayani hisapan-hisapannya dengan penuh gairah. Separuh tubuhnya sudah menindih tubuhku, kemaluannya menempel di pahaku sedangkan tangan kirinya telah berpindah ke buah dadaku. Dia meremas dadaku dengan lembut sambil menghisap bibirku. Tanpa canggung lagi kurengkuh tubuhnya, kuusap punggungnya dan terus ke bawah ke arah pahanya yang penuh ditumbuhi rambut. Dadaku berdesir enak sekali, tangannya sudah menyelusup ke balik dasterku yang tanpa BH, remasan jarinya sangat ahli, kadang putingku dipelintir sehingga menimbulkan sensasi yang luar biasa.

Nafasku makin memburu ketika dia melepas ciumannya. Kutatap wajahnya, aku kecewa, tapi dia tersenyum dibelainya wajahku.
"Lin kau cantik sekali.." dia memujaku.
"Aku ingin menyetubuhimu, tapi apakah kamu masih perawan..?" aku mengangguk lemah.
Memang aku masih perawan, walaupun aku pernah "petting" dengan kakak iparku sampai kami orgasme tapi sampai saat ini aku belum pernah melakukan persetubuhan. Dengan pacarku kami sebatas ciuman biasa, dia terlalu alim untuk melakukan itu. Sedangkan kebutuhan seksku selama ini terpenuhi dengan mansturbasi, dengan khayalan yang indah. Biasanya dua orang obyek khayalanku yaitu kakak iparku dan yang kedua adalah Oom Pram induk semangku, yang sekarang setengah menindih tubuhku. Sebenarnya andaikata dia tidak menanyakan soal keperawanan, pasti aku tak dapat menolak jika ia menyetubuhiku, karena dorongan birahiku kurasakan melebihi birahinya. Kulihat dengan jelas pengendalian dirinya, dia tidak menggebu dia memainkan tangannya, bibirnya dan lidahnya dengan tenang, lembut dan sabar. Justru akulah yang kurasakan meledak-ledak.

"Bagaimana Lin? kita teruskan?" tangannya masih mengusap rambutku, aku tak mampu menjawab.
Aku ingin, ingin sekali, tapi aku tak ingin perawanku hilang. Kupejamkan mataku menghindari tatapanbya.
"Oom... pakai tangan saja," bisikku kecewa.
Tanpa menunggu lagi tangannya sudah melucuti seluruh dasterku, aku tinggal mengenakan celana dalam, dia juga telah telanjang utuh. Seluruh tubuhnya mengkilat karena keringat, batang kemaluannya panjang dan besar berdiri tegak. Diangkatnya pantatku dilepaskannya celana dalamku yang telah basah sejak tadi. Kubiarkan tangannya membuka selangkanganku lebar-lebar. Kulihat vaginaku telah merekah kemerahan bibirnya mengkilat lembab, klitorisku terasa sudah membesar dan memerah, di dalam lubang kemaluanku telah terbanjiri oleh lendir yang siap melumasi, setiap barang yang akan masuk.

Oom Pram membungkuk dan mulai menjilat dinding kiri dan kanan kemaluanku, terasa nikmat sekali aku menggeliat, lidahnya menggeser makin ke atas ke arah klitosris, kupegang kepalanya dan aku mulai merintih kenikmatan. Berapa lama dia menggeserkan lidahnya di atas klitosriku yang makin membengkak. Karena kenikmatan tanpa terasa aku telah menggoyang pantatku, kadang kuangkat kadang ke kiri dan ke kanan. Tiba-tiba Oom Pram melakukan sedotan kecil di klitoris, kadang disedot kadang dipermainkan dengan ujung lidah. Kenikmatan yang kudapat luar biasa, seluruh kelamin sampai pinggul, gerakanku makin tak terkendali, "Oom... aduh.. Oom... Lin mau keluar...." Kuangkat tinggi tinggi pantatku, aku sudah siap untuk berorgasme, tapi pada saat yang tepat dia melepaskan ciumannya dari vagina. Dia menarikku bangun dan menyorongkan kemaluannya yang kokoh itu kemulutku. " Gantian ya Lin.. aku ingin kau isap kemaluanku." Kutangkap kemaluannya, terasa penuh dan keras dalam genggamanku. Oom Pram sudah terlentang dan posisiku membungkuk siap untuk mengulum kelaminnya. Aku sering membayangkan dan aku juga beberapa kali menonton dalam film biru. Tetapi baru kali inilah aku melakukannya.

Birahiku sudah sampai puncak. Kutelusuri pangkal kemaluannya dengan lidahku dari pangkal sampai ke ujung penisnya yang mengkilat berkali-kali. "Ahhh... Enak sekali Lin..." dia berdesis. Kemudian kukulum dan kusedot-sedot dan kujilat dengan lidah sedangkan pangkal kemaluannya kuelus dengan jariku. Suara desahan Oom Pram membuatku tidak tahan menahan birahi. Kusudahi permainan di kelaminnya, tiba-tiba aku sudah setengah jongkok di atas tubuhnya, kemaluannya persis di depan lubang vaginaku. "Oom, Lin masukin dikit ya Oom, Lin pengen sekali." Dia hanya tersenyum. "Hati-hati ya... jangan terlalu dalam..." Aku sudah tidak lagi mendengar kata-katanya. Kupegang kemaluannya, kutempelkan pada bibir kemaluanku, kusapu-sapukan sebentar di klitoris dan bibir bawah, dan... oh, ketika kepala kemaluanya kumasukan dalam lubang, aku hampir terbang. Beberapa detik aku tidak berani bergerak tanganku masih memegangi kemaluannya, ujung kemaluannya masih menancap dalam lubang vaginaku. Kurasakan kedutan-kedutan kecil dalam bibir bawahku, aku tidak yakin apakah kedutan berasal dariku atau darinya.

Kuangkat sedikit pantatku, dan gesekan itu ujung kemaluannya yang sangat besar terasa menggeser bibir dalam dan pangkal klitoris. Kudorong pinggulku ke bawah makin dalam kenikmatan makin dalam, separuh batang kemaluannya sudah melesak dalam kemaluanku. Kukocokkan kemaluannya naik-turun, tidak ada rasa sakit seperti yang sering aku dengar dari temanku ketika keperawanannya hilang, padahal sudah separuh. Kujepit kemaluannya dengan otot dalam, kusedot ke dalam. Kulepas kembali berulang-ulang. "Oh.. Lin kau hebat, jepitanmu nimat sekali." Kudengar Oom Pram mendesis-desis, payudaraku diremas-remas dan membuat aku merintih-rintih ketika dalam jepitanku itu. Dia mengocokkan kemaluannya dari bawah. Aku merintih, mendesis, mendengus, dan akhirnya kehilangan kontrolku. Kudorong pinggulku ke bawah, terus ke bawah sehingga penis Oom Pram sudah utuh masuk ke vaginaku, tidak ada rasa sakit, yang ada adalah kenikmatan yang meledak-ledak.Dari posisi duduk, kurubuhkan badanku di atas badannya, susuku menempel, perutku merekat pada perutnya. Kudekap Oom Pram erat-erat. Tangan kiri Oom Pram mendekap punggungku, sedang tangan kanannya mengusap-usap bokongku dan analku. Aku makin kenikmatan. Sambil merintih-rintih kukocok dan kugoyang pinggulku, sedang kurasakan benda padat kenyal dan besar menyodok-nyodok dari bawah.

Tiba-tiba aku tidak tahan lagi, kedutan tadinya kecil makin keras dan akhirnya meledak. "Ahhh..." Kutekan vaginaku ke penisnya, kedutannya keras sekali, nimat sekali. Dan hampir bersamaan dari dalam vagina terasa cairan hangat, menyemprot dinding rahimku. "Ooohhh..." Oom Pram juga ejakulasi pada saat yang bersamaan. Beberapa menit aku masih berada di atasnya, dan kemaluannya masih menyesaki vaginaku. Kurasai vaginaku masih berkedut dan makin lemah. Tapi kelaminku masih menyebarkan kenikmatan.

Pagi itu keperawananku hilang tanpa darah dan tanpa rasa sakit. Aku tidak menyesal.

Rabu, 18 Juni 2008

Di Tepi Sungai Itu...

Cerita ini terjadi kurang lebih lima tahun yang lalu (tepatnya tanggal 31 Desember 1995). Saat itu kelompok kami (4 lelaki dan 2 perempuan) melakukan pendakian gunung. Rencananya kami akan merayakan pergantian tahun baru di sana. Sampai di tempat yang kami tuju hari telah sore, kami segera mendirikan tenda di tempat yang strategis. Setelah semuanya selesai, kami sepakat bahwa tiga orang lelaki harus mencari kayu bakar, sisanya tetap tinggal di perkemahan. Aku, Robby, dan Doni memilih mencari kayu bakar, sedangkan Fadli, Lia dan Wulan tetap tinggal di tenda. Baru beberapa langkah kami beranjak pergi, tiba-tiba Wulan memanggil kami, katanya dia ingin ikut kelompok kami saja (alasannya masuk akal, dia tidak enak hati sebab Fadli adalah pacar Lia, dan Wulan tidak ingin kehadirannya di tenda mengganggu acara mereka). Karena Fadli dan Lia tidak keberatan ditinggal berdua, kami (Robby, Doni, aku dan Wulan) segera melanjutkan perjalanan.

Ada beberapa hal yang perlu aku ceritakan kepada pembaca tentang dua orang teman wanita kami. Lia sifatnya sangat lembut, dewasa, pendiam dan keibuan. Sifat ini bertolak belakang dengan Wulan. Mungkin karena dia anak bungsu dan ketiga kakaknya semua lelaki, jadi Wulan sangat manja, tapi terkadang tomboy. Tapi di balik semua itu, kami semua mengakui bahwa Wulan sangat cantik, bahkan lebih cantik dari Lia.

Tidak berapa lama, sampailah kami pada tempat yang dituju, lalu kami mulai mengumpulkan ranting-ranting kering. Sambil mengumpulkan ranting, kami membicarakan apa yang sedang dilakukan Fadli dan Lia di dalam tenda. Tentu saja pembicaraan kami menjurus kepada hal-hal porno. Setelah cukup apa yang kami cari, Robby mengusulkan singgah mandi dulu ke sungai yang tidak berapa jauh dari tempat kami berada. Wulan boleh ikut, tapi harus menunggu di atas tebing sungai sementara kami bertiga mandi. Wulan setuju saja. Singkat kata, sampailah kami pada sungai yang dituju. Aku, Robby dan Doni turun ke sungai, lalu mandi di situ. Wulan kami suruh duduk di atas tebing dan jangan sekali-kali mengintip kami.

Ketika sedang asyik-asyiknya kami berkubang di air, tiba-tiba kami mendengar Wulan menjerit karena terjatuh dari atas tebing. Tubuhnya menggelinding sampai akhirnya ia tercebur ke dalam air. Cepat-cepat kami berlari mencoba menyelamatkan Wulan (kami mandi hanya menanggalkan baju dan celana panjang, sedangkan celana dalam tetap kami pakai). Robby yang pandai berenang segera menjemput Wulan, lalu menariknya dari air menuju tepi sungai. Aku dan Doni menunggu di atas. Sampai di tepi sungai, tubuh Wulan basah kuyup. Sepintas kulihat lengan Robby menyentuh buah dada Wulan. Karena Wulan memakai T-Shirt basah, aku dapat melihat dengan jelas lekuk-lekuk tubuh Wulan yang sangat menggairahkan.

Wulan merintih memegangi lutut kanannya. Aku dan Doni terpaku tidak tahu apa yang harus kami lakukan, tapi Robby yang pernah ikut kegiatan penyelamatan dengan sigap membuka ikat pinggang Wulan lalu mencopot celana jeans Wulan sampai lutut. Wulan berteriak sambil mempertahankan celananya agar tidak melorot. Sungguh, saat itu aku tidak tahu apa sebenarnya yang hendak Robby lakukan terhadap Wulan. Segalanya berjalan begitu cepat dan aku tidak menyimpan tuduhan negatif terhadap Robby. Aku hanya menduga, Robby hendak memeriksa luka Wulan. Tapi dengan melorotnya jeans Wulan sampai ke lutut, kami dapat melihat dengan jelas celana dalam wulan yang berwarna off-white (putih kecoklatan) dan berenda. Kontan penisku bangun.

Robby memerintahkan aku dan Doni memegangi kedua tangan Wulan. Seperti dihipnotis, kami menurut saja. Wulan semakin meronta sambil menghardik, "Rob, apa-apaan sih.., Lepas.., lepas! Atau saya teriak".

Doni secepat kilat membungkam mulut Wulan dengan kedua telapak tangannya. Robby setelah berhasil mencopot celana jeans Wulan, sekarang mencoba mencopot celana dalam Wulan. Sampai detik ini, akhirnya aku tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi. Aku tidak berani melarang Robby dan Doni, karena selain aku sudah merasa terlibat, aku juga sangat terangsang saat melihat kemaluan Wulan yang lebat ditumbuhi rambut-rambut hitam keriting.

Wulan semakin meronta dan mencoba berteriak, tapi cengkeraman tanganku dan bungkaman Doni membuat usahanya sia-sia belaka. Robby segera berlutut di antara kedua belah paha Wulan. Tangan kirinya menekan perut Wulan, tangan kanannya membimbing penisnya menuju kemaluan Wulan. Wulan semakin meronta, membuat Robby kesulitan memasukkan penisnya ke dalam lubang vaginanya. Doni mengambil inisiatif. Dia lalu duduk mengangkangi tepat di atas dada Wulan sambil tangannya terus membungkam mulut Wulan. Tiba-tiba Wulan berteriak keras sekali. Rupanya Robby berhasil merobek selaput dara Wulan dengan penisnya. Secara cepat Robby menggerak-gerakkan pinggulnya maju mundur. Untuk beberapa menit lamanya Wulan meronta, sampai akhirnya dia diam pasrah. Yang dia lakukan hanya menangis terisak-isak.

Doni melepaskan telapak tangannya dari mulut Wulan karena dia merasa Wulan tidak akan berteriak lagi. Lalu dia mencoba menarik T-Shirt Wulan ke atas. Di luar dugaan, Wulan kali ini tidak mengadakan perlawanan, hingga Doni dan aku dapat melepaskan T-Shirt dan BH-nya. Luar biasa, tubuh Wulan dalam keadaan telanjang bulat sangat membangkitkan birahi. Tubuhnya mulus, dan buah dadanya sangat montok. Mungkin ukurannya 36B.

Doni segera menjilati puting susu Wulan, sementara aku melihat Robby semakin kesetanan mengoyak-ngoyak vagina Wulan yang beberapa saat yang lalu masih perawan. Aku sangat terangsang, lalu aku mulai memaksa mencium bibir Wulan. Ugh, nikmat sekali bibirnya yang dingin dan lembut itu. Aku melumat bibirnya dengan sangat bernafsu. Aku tidak tahu apa yang sedang Wulan rasakan. Aku hanya melihat, matanya polos menerawang jauh langit di atas sana yang menguning pertanda malam akan segera tiba. Tangisnya sudah agak mereda, tapi aku masih dapat mendengar isak tangisnya yang tidak sekeras tadi. Mungkin dia sudah sangat putus asa, shock, atau mungkin juga menikmati perlakuan kasar kami.

Tiba-tiba aku mendengar Robby menjerit tertahan. Tubuhnya mengejang. Dia menyemprotkan sperma banyak sekali ke dalam vagina Wulan. Setengah menit kemudian Robby beranjak pergi dari tubuh Wulan lalu tergeletak kelelahan di samping kami. Doni menyuruhku mengambil giliran kedua. Aku bangkit menuju Vagina Wulan. Sepintas aku melihat sperma Robby mengalir ke luar dari mulut vagina Wulan. Warnanya putih kemerahan. Rupanya bercak-bercak merah itu berasal dari darah selaput dara (hymen) Wulan yang robek. Tanpa kesulitan aku berhasil memasukkan penis ke dalam vaginanya. Rasanya nikmat sekali. Licin dan hangat bercampur menjadi satu. Dengan cepat aku mengocok-ngocok penisku maju mundur. Aku mendekap tubuh Wulan. Payudaranya beradu dengan dadaku. Dengan ganas aku melumat bibir Wulan. Doni dan Robby menyaksikan atraksiku dari jarak dua meter. Beberapa menit kemudian aku merasakan penisku sangat tegang dan berdenyut-denyut. Aku sudah mencoba menahan agar ejakulasi dapat diperlama, tapi sia-sia. Spermaku keluar banyak sekali di dalam vagina Wulan. Aku peluk erat Tubuh Wulan sampai dia tidak dapat bernafas.

Setelah puas, aku berikan giliran berikutnya kepada Doni. Aku lalu duduk di samping Robby memandangi Doni yang dengan sangat bernafsu menikmati tubuh Wulan. Karena lelah, kurebahkan tubuhku telentang sambil memandangi langit yang semakin menggelap.

Beberapa menit kemudian Doni ejakulasi di dalam vagina. Setelah Doni puas, ternyata Robby bangkit kembali nafsunya. Dia menghampiri Wulan. Tapi kali ini dia malah membalikkan tubuh Wulan hingga tengkurap. Aku tidak tahu apa yang akan diperbuatnya. Ternyata Robby hendak melakukan anal seks. Wulan menjerit saat anusnya ditembus penis Robby. Mendengar itu Robby malah semakin kesetanan. Dia menjambak rambut Wulan ke belakang hingga muka Wulan menengadah ke atas. Dengan sigap Doni menghampiri tubuh Wulan. Aku melihat Doni dengan sangat kasar meremas-remas buah dada Wulan. Wulan mengiba, "Aduhh..., sudah dong Ro..., ampun..., sakit Rob". Tapi Robby dan Doni tidak menghiraukannya.

"Oh, sempit sekali", teriak Robby mengomentari lubang dubur Wulan yang lebih sempit dari vaginanya. Setiap Robby menarik penisnya aku lihat dubur Wulan monyong. Sebaliknya saat Robby menusukkan penisnya, dubur Wulan menjadi kempot. Tidak lama, Robby mengalami ejakulasi yang kedua kalinya. Setelah puas, sekarang giliran Doni menyodomi Wulan. Melihat itu aku jadi kasihan juga terhadap Wulan. Di matanya aku melihat beban penderitaan yang amat berat, tapi sekaligus aku juga melihat sisa-sisa ketegarannya menghadapi perlakuan ini.

Setelah Doni puas, Robby dan Doni menyuruhku menikmati tubuh Wulan. Tapi tiba-tiba timbul rasa kasihan dalam hatiku. Aku katakan bahwa aku sudah sangat lelah dan hari sudah menjelang gelap. Kami sepakat kembali ke perkemahan. Robby dan Doni segera berpakaian lalu beranjak meninggalkan kami sambil menenteng kayu bakar. Wulan dengan tertatih-tatih mengambil celana dalam, jeans, lalu mengenakannya. Aku tanyakan apakah Wulan mau mandi dulu, dan dia hanya menggeleng. Dalam keremangan senja aku masih dapat melihat matanya yang indah berkaca-kaca. Kuambil T-Shirtnya. Karena basah, aku mengepak-ngepakkan agar lebih kering, lalu aku berikan T-Shirt itu bersama-sama dengan BH-nya. Robby dan Doni menunggu kami di atas tebing sungai. Setelah Wulan dan aku lengkap berpakaian, kami beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Robby dan Doni berjalan tujuh meter di depanku dan Wulan.

Di perkemahan, Fadli dan Lia menunggu kami dengan cemas. Lalu kami mengarang cerita agar peristiwa itu tidak menyebar. Untunglah Fadli dan Lia percaya, dan Wulan hanya diam saja.

Tepat tengah malam di saat orang lain merayakan pergantian tahun baru, kami melewatinya dengan hambar. Tidak banyak keceriaan kala itu. Kami lebih banyak diam, walau Fadli berusaha mencairkan keheningan malam dengan gitarnya.

Esoknya, pagi-pagi sekali Wulan minta segera pulang. Kami maklum lalu segera membongkar tenda. Untunglah sesampainya di kota kami, Wulan merahasiakan peristiwa ini. Tapi tiga bulan berikutnya Wulan menghubungiku dan dia dengan memohon meminta aku bertanggung jawab atas kehamilannya. Aku sempat kaget karena belum tentu anak yang dikandungnya itu adalah anakku. Tapi raut wajahnya yang sangat mengiba, membuatku kasihan lalu menyanggupi menikahinya.

Satu bulan berikutnya kami resmi menikah. Wulan minta agar aku memboyongnya meninggalkan kota ini dan mencari pekerjaan di kota lain. Sekarang "anak kami" sudah dapat berjalan. Lucu sekali. Matanya indah seperti mata ibunya. Kadang terpikir untuk mengetahui anak siapa sebenarnya "anak kami" ini. Tapi kemudian aku menguburnya dalam-dalam. Aku khawatir kebahagiaan rumah tangga kami akan hancur bila ternyata kenyataan pahitlah yang kami dapati.

Akhir Desember 1997 kami menikmati pergantian tahun baru di rumah saja. Peristiwa ini kembali menguak kenangan buruknya. Matanya berkaca-kaca. Aku memeluk dan membelai rambutnya. Beberapa menit kemudian, dalam dekapanku dia mengaku bahwa sebelum peristiwa itu terjadi, sebenarnya dia sudah jatuh cinta padaku. Dia ikut mencari kayu bakar karena dia ingin bisa dekat denganku.
Ya Tuhan, aku benar-benar menyesal. Pengakuannya ini membuat hatiku pedih tak terkira.

Senin, 09 Juni 2008

Yu Neem Pembantuku

AKU terjaga saat kurasakan sesuatu yang dingin menyentuh kakiku.
Gusbangun, sudah sore. Mandi dulu. Ayo. bangun. Aku terbangun. Yu Nem berdiri di ujung tempat tidurku. Tangan kanannya mengguncang-guncang kakiku. Aku meliukkan badan, dan mataku terpejam lagi.
Heeeh. ayo bangun. Mandi dulu, Yu Nem kembali mengguncangkan kakiku.
Aku membalikkan badan. Enak sekali tidurku. Rasanya masih ingin tidur lagi. Kulirik jam dinding menunjuk pukul 4 sore lebih.
Bu Lik sudah pulang, Yu? tanyaku. Yu Nem menggeleng, dan kembali memintaku mandi. Oh ya, umurku waktu itu masih 12 tahun, masih kelas 6 SD. Yu Nem adalah salah satu pembantu kami
Umurnya sekitar 30 tahun. Dia sudah lama ikut kami. Dia satu dari tiga pembantu kami. Yu Nem bertugas melayani keperluanku dan keperluan Bu Lik. Mulai dari mempersiapkan keperluan mandi, makan, apa saja. Karena itu aku lebih dekat dengan Yu Nem daripada dengan Mbah Karso atau Yu Parmi.
Bu Lik kok belum pulang to Yu? tanyaku. Yu Nem duduk di tepi ranjang.
Mungkin sampai malam. Kan kulakannya ke Praci.
Bu Lik adalah pedagang hasil bumi. Selain menerima setoran hasil bumi dari para petani, seringkali Bu Lik hunting dagangan sampai ke kota-kota kecamatan. Sesekali aku diajak.
Ayo mandi dulu Gus, kata Yu Nem. Aku pun beranjak. Yu Nem mengangsurkan handuk, dan aku menuju kamar mandi. Yu Nem mengikutiku.
Kok sepi? tanyaku.
Mbah Karso sama Parmi lagi nagih.
Mbah Karso dan Yu Parmi adalah dua pembantu kami lainnya. Beberapa pengrajin tempe dan tahu seringkali ambil kedelai dari Bu Lik, dan bayarnya beberapa hari kemudian. Para pembantu kami seringkali yang disuruh menagih.
Selesai mandi, ini yang tak aku sangka-sangka, Yu Nem bertanya, Kangen sama Ibu ya? Ibu yang dimaksud perempuan itu adalah Bu Lik. Pertanyaan Yu Nem bernada menyelidik, sedikit meledek. Dia tersenyum penuh arti. Aku menyambar koran, dan duduk di bangku teras. Aku paling sedang komik serial Tarzan. Biasanya sore begini aku membaca bersama Bu Lik. Yu Nem di sebelahku.
Ayo cerita dong Gus, katanya.
Cerita apa?
Cerita Gus sama Ibu. Aku terperanjat. Yu Nem tahu kok Gus. Mbah Karso, Parmi juga tahu. Tapi tenang saja, rahasianya aman.
Aku benar-benar mati kutu. Rupanya perzinaanku dengan Bu Lik sudah diketahui ketiga pembantuku.
Kalau sudah tahu ya sudah. Napa suruh cerita, sahutku agak kesal. Yu Nem tersenyum.
Pengin denger saja. Sudah pinter ya Gus?
Apaan sih? aku terus menatap koran, tapi pikiranku agak kacau.
Ehh tapi jangan bilang ke Ibu yaa kalau kami sudah tahu. Aku diam saja. Bener lho jangan bilang. lalu Yu Nem pergi.
Malamnya, aku belajar ditunggui Yu Nem. Dari dulu memang begitu. Kalau Bu Lik kecapekan dan tak bisa menunggui belajar, disuruhnya Yu Nem menungguiku. Waktu kelas satu sampai kelas dua SD perempuan itu malah kerap membantuku mengerjakan PR atau membantuku membetulkan cara membaca. Tetapi setelah kelas enam, dia mulai tidak bisa mengikuti pelajaranku. Maklum, dia cuma sekolah sampai kelas empat SD.
Sekitar jam 9 aku mulai ngantuk dan menyudahi belajar. Yu Nem membantu mengemasi buku-bukuku. Aku pun beranjak ke kamar.
Mau ditemani bobo ndak Gus? tiba-tiba Yu Nem bertanya. Dulu waktu masih umur 7-8 tahun aku sering tidur dikeloni Yu Nem. atau Bu Lik Tapi semenjak kelas lima, aku sudah tidur di kamar sendiri. Entah kenapa, rasanya pengin juga seperti dulu, tidur ditemani Yu Nem. Beda dengan Bu Lik, Yu Nem kalau ngeloni suka sabar. Sering mendongeng sambil mengusap-usap penggungku, dan aku memainkan ujung sikunya. Sampai tertidur.
He-eh kataku.
Aku merebahkan tubuh di ranjang. Yu Nem juga rebahan di sebelahku. Kami tidur satu bantal karena memang hanya ada satu bantal di tempat tidurku. Aroma perempuan ini belum berubah. Rambutnya berbau minyak cem-ceman. Minyak ini terbuat dari minyak kelapa dicampur daun pandan dan rempah-rempah lain. Dia mengenakan kemeja lengan pendek, dan jarik yang digulung sebatas pusar. Semua pembantuku kesehariannya ya begitu. Jariknya sedikit di bawah lutut.
Yu Nem meraih tubuhku, dan mengelus-elus punggungku.
Sudah lama ya Gus, ndak bobo sama Yu Nem. Wajahku hanya beberapa inci dari wajahnya. Terasa lembut nafasnya. Bau nafasnya gurih. Rasanya amat menenteramkan.
He-eh, sahutku pendek sambil memejamkan mata.
Berapa kali gituan sama Ibu? pertanyaan itu menyentakkanku, menghilangkan kantuk. Ndak pa-pa cerita sama Yu Nem. Dia menunggu reaksiku. Tangannya masih mengelus-elus punggungku. Sudah ndak kehitung ya? Ati-ati ya Gus, nanti kayak Gus Bambang, ketahuan terus diusir. Semua kena malu.
Memangnya Mas Bambang juga gituan sama Bu Lik? tanyaku ingin tahu. Aku memang mendengar selentingan kasus itu. Tapi karena umurku yang belum cukup mampu mencerna pembicaraan orang, aku tidak pernah mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Iya. Dasarnya Gus Bambang ndak bisa menjaga rahasia, jadi yaa rahasianya kesebar. Lalu Yu Nem bercerita panjang lebar tentang skandal Bu Lik dengan Mas Bambang, sepupuku yang berarti juga masih keponakan Bu Lik. Yu Nem juga bercerita bagaimana Mas Bambang pun pernah meniduri Yu Nem dan Mbah Karso.
Yu Nem kok mau?
Yaa ndak berani nolak to Gus, jawabnya.
Berapa kali Yu?
Ahh banyak. Lalu Yu Nem memintaku bercerita tentang perzinaanku dengan Bu Lik.
Malu Yu ahh, sahutku.

Kok malu, Yu Nem juga sudah cerita. Lama aku terdiam.
Ayo cerita. Yu Nem mencubit hidungku. Pertamanya dipaksa ya?
He-eh, sahutku. Yu Nem tertawa kecil.
Lama-lama Gus yang minta?
Ndak. Ndak berani to Yu.
Disuruh cium-cium anunya Ibu juga?
Ihhh kok Yu Nem .
Dulu Gus Bambang suka cerita kok. Aku heran, kok Mas Bambang bisa cerita ke Yu Nem. Pantesan affairnya dengan Bu Lik terbongkar dan menggegerkan keluarga besar Bu Lik.
Gus ketagihan ndak? Kalau pas pengin gimana? Kan ndak berani minta ke Ibu?
Ya diem. Ditahan. Yu Nem terkikih.
Minta sama Yu Nem to, kayak Gus Bambang.
Idiih. Yu Nem tertawa kecil.
Sekarang lagi pengin ndak? Aku diam tak menjawab.
Mumpung ada Yu Nem Kalimat itu membuatku tergetar.
Yu Nem mau kok Gus. Tiba-tiba kurasakan elusan Yu Nem terasa aneh. Membuat bulu-bulu di tubuhku meremang. Darahku berdesir. Dan tak kuduga, Yu Nem mencium bibirku. Lembut. Lidahnya menerobos ke dalam mulutku, mencari-cari. Dihisapnya bibirku, dicarinya lidahku. Kami berpagutan. Tangan Yu Nem berpindah ke perutku, mengusap, meremas, dan menerobos masuk ke celana.
Sama Yu Nem ya Gus?
Tanpa menjawab aku membuka kancing baju Yu Nem, dan mengeluarkan sepasang tetek dari dalam kutangnya. Aku menghisapnya, memilin dan menggigitnya. Yu Nem mendesah-desah. Tangannya meremas penisku. Disingkapnya jariknya hingga menampakkan paha yang padat dan mulus. Dia lepas CD-nya, dan meraih tanganku, dibawanya ke selangkangan. Lalu dilepasnya celanaku.
Terasa penisku masuk ke dalam mulut hingga terdengar bunyi yang menggairahkan. Crop.cropp.
Yu Nem memutar tubuhnya, mengarahkan vaginanya tepat di depan mulutku. Lalu ditekannya pinggul, hingga vagina itu menempel di mulutku. Refleks lidahku terjulur. Yu Nem mengerang keras. Di tekan lagi, dan digoyangkannya pantat bulat itu. Aku coba menghindar karena nafasku jadi sesak. Tapi Yu Nem kembali menekan sambi terus melumat penisku dengan rakus.
Perempuan itu adalah janda yang sudah lama cerai dari suaminya. Mungkin dia memang sangat butuh sentuhan seperti halnya Bu Lik. Bedanya, Bu Lik bisa melampiaskan ke aku atau Mas Bambang, dan mungkin ke lelaki lain. Sedangkan Yu Nem, mana bisa. Kini di hadapannya ada aku. Lelaki kencur tapi sudah mahir bersenggama.
Yu Nem mengangkat pantatnya, dan Gus digigit itilnya. Aku menggigit lembut itil itu. Aromanya memang tidak sewangi vagina Bu Lik. Tapi sangat terasa lubangnya masih sempit. Vagina yang belum pernah mengeluarkan bayi. Yu Nem kembali mengerang. Penisku disedot kuat-kuat. Aku lap vaginanya yang basah lendir bencampur ludahku dengan ujung jariknya, lalu kujilat-jilat lagi. Nafsuku sudah sampai di ubun-ubun. Yu Nem membalikkan badan. Dipegangnya penisku dan diarahkan ke lubang vaginanya. Samar-samar aku lihat wajahnya meringis seperti menahan sakit. Dia berhenti sejenak, lalu mencoba menekan vaginanya. Ujung penisku mulai masuk. Dia kembali mendorong sehingga seluruh penisku masuk. Aku tidak tahu kenapa vagina Yu Nem begitu sempitnya, sampai-sampai penisku yang sebenarnya tidak besar pun sulit masuk. Maklum umurku masih 12 tahun, dan belum disunat.
Begitu seluruh penis tenggelam dalam vaginanya, Yu Nem menggereng. Seperti suara kereta api. Dia mencengkeram lenganku. Ditekannya tubuhnya seolah ingin menelan habis tubuhku. Digoyang-goyang tubuhnya.
Ahh Yu Nem memang tidak semahir Bu Lik. Ketika dengan Bu Lik, aku merasakan kenikmatan yang luar biasa sehingga cepat sekali keluar. Seringkali ketika ronde kedua baru Bu Lik mencapai puncaknya. Kini Yu Nem sepertinya sudah sampai di puncak, sedangkan aku belum apa-apa. Perempuan itu lemas di atas tubuhku.
Gus belum keluar?
Belum.
Dia membalikkan badan, telentang, dan memintaku menaiki tubuhnya.
Pelan-pelan ya? katanya sambil mengarahkan penisku ke lubang vaginanya. Aku menekan penisku. Yu Nem merintih menahan sakit. Dia memintaku pelan-pelan. Belakangan baru aku tahu, rasa sakit itu dikarenakan dia sudah lama tidak gituan, sehingga lubang vaginanya seperti menyempit.
Ketika seluruh penisku berada dalam cengkeraman vaginanya, akupun mulai memompa. Mula-mula dia terlihat pasif. Tetapi lama-lama kurasakan dia kembali terangsang dan mengimbangiku. Keringatnya bercucuran, menimbulkan aroma yang menyengat. Dalam kondisi normal mungkin aku muak dengan bau itu. Tetapi di tengah nafsu yang menjeratku, aku sangat menikmati aroma itu. Bahkan kemudian kuangkat tangannya sehingga nampak sepasang ketiak yang ditumbuhi bulu yang sangat lebat. Aromanya benar-benar menyengat tajam. Aku benamkan wajahku ke ketiak itu. Dia menggelinjang menerima jilatanku. Aku terus menggenjot dengan hebat.
Ohhh Gus Yu Nem ndak tahan lagi.
Beberapa saat kemudian aku mengejang.
Buang di luar Gus. kata Yu Nem. Sepertinya dia tahu apa yang akan terjadi. Nanti Yu Nem hamil. Buang di perut.
Aku tarik keluar penisku, aku tempelkan di perutnya, dan aku tekan dengan kuat, merasakan semprotkan maniku. Creettt.crettt.
Aku dipeluknya dengan erat, dan diciumnya wajahku, bibirku, kupingku. Aku jatuh telentang di sebelahnya. Tanpa kuduga, dia hampiri penisku, dan dihisap-hisapnya sisa-sisa maniku. Juga sebagian yang ada di perutnya.
Malam itu aku tertidur pulas. Aku terbangun oleh suara Bu Lik, memintaku segera mandi. Sekilas kulihat wajah Bu Lik menegang. Mungkin kecapekan dari bepergian. Tetapi memang ada yang ganjil. Suaranya amat berat. Dia seperti menghardikku
Pulang sekolah barulah semuanya terjawab. Yu Nem menyeretku dengan wajah tegang.
Jangan cerita ke Ibu bahwa Gus sama Yu Nem gituan, katanya. Perempuan itu bercerita bahwa pagi tadi dia dipanggil Bu Lik, diinterograsi. Ditanya kenapa Yu Nem tidur di kamarku. Mula-mula Yu Nem mengelak. Tapi Bu Lik bilang, bantalku beraroma minyam cem-ceman. Satu-satunya yang dituduh adalah Yu Nem karena dia yang paling dekat denganku. Akhirnya Yu Nem mengaku bahwa dia memang tidur di kamarku karena aku yang minta ditemani. Tidur biasa, tidak ngapa-ngapain.
Bener ya Gus, jangan bilang. Pokoknya jangan ngaku. Wajah Yu Nem benar-benar tegang. Aku sendiri merasa sangat takut. Takut gagal membohongi Bu Lik.
Malamnya, di kamarku Bu Lik menanyaiku. Karung bantal sudah tak beraroma cem-ceman lagi. Sudah diganti.
Kenapa Yu Nem tidur di sini tadi malam? tanya Bu Lik.
Saya takut Bu Lik. Sepi sekali tadi malam ndak ada Bu Lik, jawabku berbohong dengan kecemasan yang seakan hendak membunuhku.
Ndak boleh. Gus ndak boleh tidur dengan pembantu. Ngerti?! Aku mengangguk.
Gituan sama Yu Nem ya? tanyanya. Aku memang sudah menduga akan ditanya begitu. Tapi tetap saja aku amat takut, berdebar-debar. Ngeri.
Ndak kok Bu Lik. Saya ndak mau to.

Sumpah?
Iya sumpah Bu Lik. Perempuan itu menarik nafas, lalu mencium pipiku.
Bu Lik ndak mau kamu gituan sama perempuan lain. Sama Bu Lik saja. Dia memagut bibirku. Malam itu aku disetubuhi Bu Lik.
Sejak peristiwa dengan Yu Nem, aku memang sangat ingin mengulangi. Kesempatan kecil selalu kami gunakan. Kadang-kadang di dalam kamar Yu Nem di tengah malam buta. Tapi seringnya di gudang, di antara tumpukan karung-karung palawija, dalam kegelapan. Setelah selesai, kami menyelinap keluar, persis maling

Template by : kendhin x-template.blogspot.com